Kelompok Pekerja Migran Indonesia Menyampaikan Pernyataan Terkait Laporan Sukarela Nasional Pemerintah Indonesia Pada HLPF 2021

The APMM is releasing the Indonesian translation of the Regional Migrants Agenda, a list of demands that came out of the Virtual Migrants's Conference last November 2021.

Kelompok Pekerja Migran Indonesia mengirimkan pernyataan sikap Bersama kepada Kementrian Luar Negeri, Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB New York, dan Sekretariat Nasional SDGs. Hal ini dilakukan terkait dengan Laporan Sukarela Nasional Pemerintah Indonesia pada Forum Politik Tingkat Tinggi (FPTT) Agenda 2030 di Markas PBB, New York. 

Kelompok Pekerja Migran Indonesia merasa perlu untuk menyampaikan pernyataan sikap Bersama dan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan pencapaian Agenda 2030 karena merasakan minimnya perhatian Pemerintah Indonesia terhadap kesejahteraan dan perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dengan menyampaikan pernyataan sikap Bersama ini, diharapkan Pemerintah Indonesia akan mengetahui dan memahami keadaan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya, dan dapat memprioritaskan pelaksanaan dari rekomendasi-rekomendasi yang diberikan. Kelompok Pekerja Migran Indonesia pun sangat mengharapkan untuk mendapatkan respon dan berdiskusi dengan kementrian terkait. 

Seperti dikutip dari pernyataan sikap Bersama tersebut, kelompok Pekerja Migran Indonesia menyatakan:

“Kami mengakui bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan banyak terobosan, antara lain mengeluarkan UU PPMI (Undang – undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia), mendirikan LTSA (Layanan Terpadu Satu Atap), membangun Desmigratif (Desa Migran Produktif) dan memobilisasi Sampoerna untuk memberikan bantuan kepada Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Namun, bahkan sebelum pandemic kondisi Pekerja Migran Indonesia sudah sangat rentan karena kurangnya perlindungan dan praktek eksploitasi yang dilakukan oleh majikan, agen dan pihak lainnya. Pandemic covid-19 melipatgandakan eksploitasi dan memperburuk kondisi kerja dan kehidupan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya”.

Sebagai kelompok yang menyumbang devisa negara kedua terbesar setelah sector migas, dan dengan itu berkontribusi terhadap pembangunan, maka sudah sepantasnya kelompok Pekerja Migran Indonesia mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah Indonesia. 

Pernyataan sikap Bersama dan rekomendasi-rekomendasinya ini ditandatangani oleh 17 organisasi dan aliansi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya serta para pendukungnya, yaitu Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Jaringan Buruh Migran Indonesia di Hong Kong, Jaringan Buruh Migran Indonesia di Makau, Beranda Perempuan, Yayasan Studi Migran Indonesia, Asia Pacific Mission for Migrants (APMM), Asosiasi Buruh Migran Indonesia di Hong Kong, Asosiasi Buruh Migran di Taiwan,, Indonesian Migrant Workers Union di Hong Kong, Indonesian Migrant Workers Union di Makau, United Indonesian Migrant Workers Against Overcharging (PILAR), Indonesian Migrant Muslim Network (GAMMI), League of Indonesian Migrant Workers (LiPMI), Mission Movers Indonesia, Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (Ganass Community Taiwan), Indonesia Family Network Singapura dan Paguyuban Solidaritas Pelaut Indonesia (Pasopati Indonesia – Taiwan – Korea). 

 

Pernyataan Sikap Bersama 

Atas Laporan Sukarela Nasional Pelaksanaan SDG’s Oleh  Pemerintah Indonesia

Jangan Tinggalkan Migran, Inklusi bukan Pengecualian, Bantuan Untuk Semua!

 

Kami memahami bahwa pekerja migran adalah bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada Agenda 2030. Lebih dari 9 juta pekerja migran Indonesia diluar negeri berkontribusi terhadap pendapatan negara, nomor dua terbesar setelah sector migas. Pekerja Migran Indonesia telah menjadi bagian dari pembangunan sejak tahun 1970-an. Program investasi dan pembangunan didalam negeri tidak mengurangi jumlah PMI (Pekerja Migran Indonesia), tidak adanya lapangan pekerjaan yang layak didalam negeri terus menjadi pendorong rakyat untuk menjadi PMI.

Kami mengakui bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan banyak terobosan, antara lain mengeluarkan UU PPMI (Undang – undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia), mendirikan LTSA (Layanan Terpadu Satu Atap), membangun Desmigratif (Desa Migran Produktif) dan memobilisasi Sampoerna untuk memberikan bantuan kepada Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Namun, bahkan sebelum pandemic kondisi Pekerja Migran Indonesia sudah sangat rentan karena kurangnya perlindungan dan praktek eksploitasi yang dilakukan oleh majikan, agen dan pihak lainnya. Pandemic covid-19 melipatgandakan eksploitasi dan memperburuk kondisi kerja dan kehidupan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. 

Pada masa pandemic Covid-19, banyak Pekerja Migran Indonesia terinfeksi virus, bahkan sampai meninggal dunia, tanpa adanya ganti rugi dan akses kesehatan yang mudah dan terjangkau. Pekerja Migran Indonesia mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan deportasi. Selain itu, Pekerja Migran Indonesia juga mengalami pemangkasan upah, tidak digaji, bekerja dalam sistem no work no pay, melakukan kerja berlebih, tidak disediakannya APD oleh majikan atau pengusaha dan pemerintah penempatan, mengalami peningkatan stigmatisasi dan diskriminasi, tidak disediakan rumah isolasi dan karantina secara gratis sehingga membebani keuangan migran dan majikannya. PMI pun tidak mendapatkan hak libur, dan tidak diperbolehkan untuk keluar dari tempat kerja, tidak diberikan subsidi keuangan dan bantuan lain seperti masyarakat local lainnya, bahkan tidak ada subsidi atau bantuan keuangan untuk migran yang dipulangkan dari pemerintah Indonesia. Ditengah itu semua, PMI tidak mendapatkan penampungan dan biaya kepulangan, terutama bagi PMI yang tidak berdokumen dan tertahan. Sementara, PMI tetap harus membayar biaya penempatan yang mahal, mengalami penahanan dokumen oleh P3MI, agen dan majikan. 

Pekerja Migran Indonesia sector Pekerja Rumah Tangga mengalami 3 jenis tekanan, pertama, tekanan fisik karena jam kerja lebih panjang dan pekerjaan lebih banyak akibat kebijakan Work From Home (bekerja dari rumah) dan tuntutan kebersihan dimasa pandemic, tempat istirahat atau tidur yang kurang layak, dan jam istirahat yang sangat pendek (rata-rata 5-7 jam). Kedua, tekanan mental/psikologi akibat tuntutan keluarga majikan dan keluarga dirumah, larangan libur dan larangan libur diluar rumah majikan, sehingga PMI tidak bisa beristirahat dan melakukan kegiatan social. Ketiga, tekanan keuangan karena gaji yang berkurang tetapi harus membeli APD sendiri, dan makanan sehat sendiri, serta dituntut mengirim uang lebih kepada keluarga yang juga terdampak pandemic. Selain itu, terjadi peningkatan kekerasan fisik, psikis dan seksual yang dialami oleh PMI, ditengah tidak tersedianya akses terhadap layanan migran, rumah singgah, bantuan hukum dan layanan Kesehatan, seperti yang terjadi pada 4 PMI disektor PRT di Hong Kong baru-baru ini.

PMI disektor industry pun mengalami hal yang serupa, kehilangan pekerjaan, no work no pay, rentan dengan kerja paksa, tidak mendapatkan upah, tidak diperbolehkan keluar dari area pabrik dengan alasan Covid-19, tidak mendapatkan akses terhadap perlindungan social dan tidak mendapatkan bantuan APD. Lebih dari itu, PMI disektor industry kesulitan untuk memperjuangkan hak-haknya akibat tidak tersedianya jaminan kebebasan untuk berorganisasi dan berpendapat.

PMI disektor perkebunan ditengah melambatnya produksi perkebunan akibat Covid-19, mengalami pemutusan hubungan kerja, rentan dengan kekerasan yang terjadi di perkebunan, dan juga tidak mendapatkan manfaat dari pelindungan social. 

PMI ABK dan pekerja pelayaran banyak yang terinfeksi, dipulangkan secara massal, tidak digaji, dan tidak diberikan bantuan keuangan oleh pemerintah Indonesia. Sementara yang tetap bekerja mengalami penelantaran, kerja paksa dan tidak mendapatkan upah. Bahkan, ada kasus PMI meninggal dunia dan dibiarkan begitu saja diatas kapal. PMI disektor perikanan pun tidak memiliki akses terhadap perlindungan social dan bantuan keuangan. 

Diatas itu semua, pemotongan upah akibat skema penempatan PMI melalui perusahaan terus terjadi. Pemerintah negara penempatan menegaskan aturan-aturan yang melarang PMI untuk mengganti majikan atau pekerjaan, serta dipersulit akses untuk kepulangan. Untuk Taiwan ada kebijakan penghentian proses pindah majikan sehingga  banyak PMI yang sedang dalam mencari majikan baru harus tertunda serta kehabisan biaya untuk hidup yang ditanggung sendiri. Migran terus dipersalahkan sebagai penyebar virus dan dibatasi hak-haknya sebagai manusia, pekerja dan warga negara.

Beberapa Pemerintah negara penempatan terus menerus melakukan penangkapan dan penahanan PMI khususnya mereka yang tidak berdokumen. Ditengah pandemic ini pemerintah negara penempatan seharusnya melegalkan mereka dan memberikan mereka pekerjaan untuk membantu pemulihan ekonomi local. 

CPMI/PMI dan keluarganya belum mendapatkan akses dan kemudahan untuk mengakses tes PCR dan vaksin secara gratis, kecuali mereka yang baru dipulangkan. Bahkan PMI yang sedang cuti pulang, umumnya membayar sendiri tes PCR untuk memenuhi syarat penerbangan kembali ke negara penempatan. 

Maka dalam kesempatan yang sangat penting ini, melalui agenda HLPF (High Level Political Forum) kami memberikan rekomendasi sebagai berikut kepada pemerintah Indonesia: 

  1. Tanpa memandang status keimigrasian, Jamin akses PMI terhadap layanan Kesehatan, layanan konselor, penanganan hukum, pemenuhan hak PMI, rumah singgah, bantuan keuangan, bantuan APD, bantuan makanan dan pemulangan
  2. Berikan akses terhadap tes PCR dan Vaksin bagi seluruh CPMI, PMI dan anggota keluarganya secara gratis dan mudah.
  3. Berikan subsidi keuangan kepada PMI yang dipulangkan dimasa pandemic baik yang berdokumen maupun yang tidak berdokumen. 
  4. Masukkan keluarga PMI sebagai penerima manfaat dari berbagai program perlindungan social yang diselenggarakan oleh negara.
  5. Bebaskan seluruh PMI dari beban biaya penempatan dan skema hutang
  6. Berikan pilihan kontrak mandiri bagi PRT 
  7. Jamin dan lindungi hak-hak PMI diluar negeri, hak untuk mendapatkan libur, upah dan bebas dari kekerasan.
  8. Libatkan dan masukkan PMI kedalam program perlindungan social secara gratis
  9. Pulangkan seluruh CPMI yang tertahan di P3MI karena belum bisa terbang ke negara penempatan

Penandatangan:

  1. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  2. Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI-Hong Kong)
  3. Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI-Macau)
  4. Beranda Perempuan
  5. Yayasan Studi Migran
  6. Asia Pacific Mission for Migrants (APMM)
  7. Asosiasi Buruh Migran Indonesia di Hong Kong (ATKI-HK)
  8. Asosiasi Buruh Migran Indonesia di Taiwan (ATKI-Taiwan)
  9. Indonesian Migrant Workers Union (IMWU-Hong Kong)
  10. Indonesian Migrant Workers Union (IMWU-Macau)
  11. United Indonesian Migrant Workers Against Overcharging (PILAR)
  12. Indonesian Migrant Muslim Network (GAMMI)
  13. League of Indonesian Migrant Workers (LiPMI)
  14. Mission Movers Indonesia
  15. Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (Ganass Community Taiwan)
  16. Indonesia Family Network Singapura
  17. Paguyuban Solidaritas Pelaut Indonesia (Pasopati Indonesia – Taiwan – Korea)
Previous
Previous

Indonesian Migrant Workers Group Submits Statement Regarding the Government of Indonesia's National Voluntary Report at HLPF 2021

Next
Next

African Migrations: Issues and Perspectives