Suara Migran Indonesia: Buruh Migran Harus Berani Bicara Tentang Pelanggaran Hak Yang Dialami

Pada 25 Agustus 2023, pukul 8PM JKT dan 9PM HK/Macau/Taiwan, Asia Pacific Mission for Migrants (APMM) Bersama dengan organisasi mitra menyelenggarakan program online Migrant Voices. Migrant Voices adalah program online yang diselenggarakan setiap dua bulan sekali dan merupakan platform bagi buruh migran untuk menyuarakan situasi dan perjuangan mereka. Episode bulan Agustus ini diselenggarakan Bersama dengan organisasi mitra Indonesia dan menyoroti KTT ASEAN yang akan diselenggarakan pada awal September.

Eni Lestari, Ketua International Migrants Alliance menyatakan bahwa belum ada dampak signifikan dari ASEAN terhadap buruh migran. Eni berharap ASEAN tidak sekedar memberikan perhatian kepada isu investasi dan perdagangan, namun juga memberikan perhatian yang besar terhadap kesejahteraan rakyat, khususnya buruh migran.

Daniel Awigra, Direktur Eksekutif Indonesia’s Human Rights Watching Group (HRWG) menyatakan bahwa ASEAN telah memiliki beberapa kesepakatan terkait buruh migran, namun diperlukan alat implementasi yang lebih kuat dari sekedar kesepakatan dan tim independent untuk melaksanakannya, serta dibutuhkan mekanisme akuntabilitas Ketika suatu negara tidak melaksanakan atau melanggar kesepakatan. Selain itu, ASEAN juga harus meningkatkan partisipasi migran akar rumput dalam diskursus tentang buruh migran.

Beberapa isu konkrit yang terjadi dilapangan dan sangat berdampak bagi buruh migran disampaikan oleh beberapa organisasi buruh migran Indonesia, baik yang berada diluar negeri maupun yang berada didalam negeri. Isu-isu ini dapat menjadi perhatian bagi para pemimpin ASEAN.

Sringatin, Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong dan Ketua Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Hong Kong menjelaskan tentang tuduhan job hoping yang dilontarkan oleh Pemerintah Hong Kong terhadap buruh migran di Hong Kong. Tuduhan job hoping adalah tuduhan terhadap buruh migran bahwa mereka suka menghentikan kontrak dan berpindah majikan. Menurutnya, tuduhan job hoping ini adalah mitos dan tidak melindungi hak-hak buruh migran. Apabila hak-hak buruh migran terlindungi, kondisi kerja baik dan tidak ada kekerasan, maka buruh migran tidak akan menghentikan kontrak, ucapnya. Karena memberhentikan kontrak itu dampaknya sangat Panjang bagi buruh migran diantaranya adalah harus memulai lagi proses penempatan dari awal, membayar lagi biaya dan selama menunggu proses sekitar dua hingga tiga bulan, mereka tidak diperbolehkan bekerja, artinya tidak ada pendapatan. Praktek pembatasan visa ini tidak hanya terjadi di Hong Kong tetapi juga di negara-negara penempatan lain, namun di Hong Kong memang sangat jelas.

Yosa, Ketua Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Macau menjelaskan tentang kurangnya perlindungan terhadap buruh migran Indonesia yang ada di Macau. Bahkan, beberapa calon buruh migran yang akan bekerja di Macau tidak dapat berangkat dan ditahan passportnya karena dicurigai sebagai perdagangan manusia, sementara mereka sudah memegang dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk bekerja secara legal di Macau. Untuk bekerja di Macau tidak harus melalui P3MI, jelasnya, namun pemerintah mengharuskan melalui P3MI yang berbiaya tinggi. Selain itu, Macau juga tidak diakui sebagai kota penempatan, sementara secara nyata ada buruh migran Indonesia di Macau yang bekerja dengan dokumen lengkap dan tidak overstay. Minimnya pelayanan dan perlindungan yang diberikan untuk buruh migran Indonesia di Macau memang sangat mengecewakan, ucapnya.

Fajar, Ketua dari Tenaga Kerja Bersolidaritas atau Ganas Community Taiwan menjelaskan tentang jual beli job yang dilakukan oleh agensi. Di Taiwan, buruh migran Indonesia harus membayar biaya agensi setiap bulannya selama dia bekerja. Namun, tidak ada pelayanan yang diberikan oleh agensi untuk buruh migran. Buruh migran Indonesia bisa di PHK karena alasan krisis, lalu mereka harus mencari sendiri pekerjaan setelah di PHK. Agensi tidak mencarikan pekerjaan sebagai bagian dari pelayanan yang telah dibayar oleh buruh migran setiap bulannya, namun melakukan jual beli job, dimana buruh migran Indonesia terpaksa harus membeli pekerjaan dengan harga yang sangat tinggi, namun tetap tidak ada jaminan pekerjaan. Salah satu tuntutan kami adalah menghapuskan system agensi di Taiwan, ucapnya.

Karsiwen, Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) menyampaikan tentang perdagangan manusia. Menurutnya, modus perdagangan manusia semakin berkembang dan targetnya pun semakin berkembang. Situasi rentan atas perdagangan manusia ini salah satunya adalah akibat kemiskinan yang merajalela di Indonesia, sulitnya mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak, dan tingginya angka pengangguran, ucapnya. Penegakan hukum terkait perdagangan manusia juga masih sangat terbatas, yang ditangkap sekedar perekrut kecil yang ada dipedesaan, kasus-kasus TPPO tidak banyak yang sampai ketahap persidangan dan korban TPPO juga belum mendapatkan keadilan.

Erwiana, anggota Beranda Perempuan menyampaikan tentang situasi purna migran. Mereka menemukan bahwa purna migran tidak mendapatkan bantuan social dari pemerintah karena purna migran dianggap kaya, sehingga purna migran harus berhadapan dengan biaya Kesehatan, listrik, Pendidikan, dan biaya social lainnya yang mahal. Purna migran pun tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan formal di Indonesia karena adanya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan yang sangat ketat dan usia purna migran yang sudah tidak muda lagi. Untuk berwirausaha, purna migran tidak mampu bersaing dengan Perusahaan besar yang telah menguasai pasar dan teknologi. Selain itu, masih juga ada stigma negative terhadap purna migran yang dianggap melakukan pekerjaan tidak senonoh selama menjadi buruh migran. Sehingga, pemerintah daerah dan pusat sangat diharapkan untuk memberikan perhatian terhadap isu-isu yang dialami oleh purna migran dan membantu reintegrasi purna migran yang lebih baik.

Berbagai permasalahan diatas, meskipun telah diperjuangkan cukup lama, belum mendapatkan perhatian dan solusi dari pemerintah Indonesia. Untuk terus mendorong pemerintah agar memberikan perlindungan bagi buruh migran, buruh migran harus berani berbicara, berorganisasi, membangun jaringan dan aliansi dan membangun Gerakan buruh migran.

#MigrantVoices #SpeakOut #Berorganisasi

Previous
Previous

Amplifying SEA Women Migrant Workers’ Voices and Campaigns in ASEAN

Next
Next

Suara Migran Indonesia: Migrant Workers Have to Talk About Violations of Their Rights